Mengenal Budaya Baduy Dalam
Rasanya
kurang pas, jika kita mengenal budaya asing tapi tidak
mengenal budaya yang ada
di dalam daerah sendiri. Terlebih,
budaya di Indonesia sangat kaya akan seni dan kreativitas.
Sabtu
(25/10), 12 orang mahasiswa dari (STIKOM) Sekolah Tinggi
Ilmu Komunikasi Wangsa
Jaya Banten mengunjungi perkampungan suku Baduy yang
terletak di daerah Kanekes
Kabupaten Lebak, Banten. Salah
satu mahasiswa yang ikut ke Baduy, Siti
Andini, menuturkan kampung Baduy adalah
kampung yang sangat unik dan menarik untuk diteleti. “Kita
ke kampung Baduy
dalam rangka belajar berkomunikasi antar budaya dan
berinteraksi sosial secara
langsung,” ungkap Siti Andini.Perjalanan
untuk sampai di Kampung Baduy dibutuhkan waktu 9 jam dari
Serang dan
11 jam dari Jakarta. Alurnya bisa melewati
Rangkasbitung-Ciboleger.Meski
berada di pedalaman Banten, banyak orang yang ingin
mengunjungi kampung Baduy.
Pengunjungnya pun tidak hanya masyarakat Banten, tapi juga
dari luar Banten.
Karena mereka mengaku Baduy merupakan desa yang unik dan
masih alami. Selain
itu masyarakat Baduy Dalam hidup sederhana, saling gotong
royong dan sangat
ramah.Semua
pengunjung yang ingin menginap di rumah Baduy harus mematuhi
adat istiadat. Di
antaranya tidak membawa elektronik kalau ke Baduy Dalam
kecuali senter. Karena di Baduy Dalam tidak ada
listrik.
Mereka memakai lampu damar yang terbuat dari minyak sayur.
Boleh berfoto-foto
tapi hanya di Baduy Luar. Selain
itu tidak boleh merusak hutan, melanggar norma, memakai
sabun, shampo dan odol.
Karena mengandung zat kimia sehingga bisa tercemar dan akan
terminum oleh
penduduk yang berada dibawah gunung. Penduduk
Baduy berjumlah sekitar 11.000 orang. Rumah di suku Baduy
adalah rumah
panggung. Baduy Dalam tidak memakai paku, mereka menggunakan
pasak sebagai
penyanggah. Pasak adalah bambu atau kayu yang sudah
dilubangi.Suku
Baduy terbagi menjadi dua. Ada suku Baduy dalam dan ada suku
Baduy luar. Bedanya
suku Baduy dalam belum tercampur dengan adat luar sedangkan
suku Baduy luar
sudah mengenal budaya luar. Diantara mereka sudah mengenal
alat elektronik.
Perbedaan lainnya. Pakaian Baduy dalam berwarna putih, rok
hitam dan memakai
ikat kepala yang biasa disebut telekung. Juga, Baduy dalam
tidak memakai
kancing. Sedangkan Pakaian Baduy luar berwarna hitam, celana
hitam dan ikat
kepala diberi nama romal. Kenapa hitam putih, karena ciri
khas. Adanya hitam
putih mereka meyakini di dunia ini ada gelap dan ada terang.
Mereka mendapatkan
baju itu dengan cara ditenun. Nama
Baduy sendiri diambil dari sebuah Gunung yang bernama Gunung
Baduy. Baduy dalam
mempunyai 3 kampung. Kampung paling tua adalah kampung
Cikeusik, kemudian
kampung Cikertawana dan kampung Cibeo. Setiap Kampung di
kepalai oleh satu Pu’un
(Kepala suku). Kreativitas
Masyarakat Baduy Dalam
Terlepas dari kegiatan
mereka sebagai pedagang dan petani. Baduy dalam juga
mempunyai kreativitas yang
bisa menjual. Diantaranya gelang, anyaman dari bambu,
perabotan masak dari
bambu, tas anyaman dari kulit pohon. Hasil anyaman itu
mereka jual kepada
masyarakat.
Tidak hanya itu,
masyarakat Baduy pun menjual madu yang diambil dari hutan.
Cara mengambilnya
diasapkan, agar Lebah keluar. Sehingga mempermudah kita
mengambil madunya.
“Hasil madunya nanti akan
dijual ke luar Baduy atau ke masyarakat
kota. Jika ke kota kita juga tidak diperbolehkan memakai
kendaraan dan alas
kaki, karena itu pantangan juga yang harus dipatuhi,”
tutur Danar, salah satu
masyarakat Baduy Dalam.
Bahasa yang mereka
pakai sehari-hari adalah sunda . Tapi banyak dari orang
Baduy yang sudah
mengerti bahasa Indonesia. Jadi pengunjung tidak perlu
khawatir untuk
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Masyarakat Baduy
tidak tertutup bagi
siapa saja yang ingin nyaba atau
silaturahmi ke suku Baduy. Hanya saja pada bulan Kawalu tiga
bulan
berturut-turut (masa panen) Baduy dalam ditutup untuk orang
luar.
Masyarakat Baduy yang
sampai saat ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan
merupakan masyarakat
terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia
luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis
memasukan Baduy ke
dalam wilayah kekuasannya pun tidak lepas dari kesadaran
mereka. Setiap
setahun sekali, masyarakat Baduy mengadakan seba Baduy yang
berarti silaturahmi
kepada pemerintah Banten dengan membawa hasil bumi seperti
padi, sayuran, dan buah-buahan.
Sahyudin dan Meithallitha Dewi
Jurusan
Jurnalistik,
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
kurang pas, jika kita mengenal budaya asing tapi tidak
mengenal budaya yang ada
di dalam daerah sendiri. Terlebih,
budaya di Indonesia sangat kaya akan seni dan kreativitas.
Sabtu
(25/10), 12 orang mahasiswa dari (STIKOM) Sekolah Tinggi
Ilmu Komunikasi Wangsa
Jaya Banten mengunjungi perkampungan suku Baduy yang
terletak di daerah Kanekes
Kabupaten Lebak, Banten. Salah
satu mahasiswa yang ikut ke Baduy, Siti
Andini, menuturkan kampung Baduy adalah
kampung yang sangat unik dan menarik untuk diteleti. “Kita
ke kampung Baduy
dalam rangka belajar berkomunikasi antar budaya dan
berinteraksi sosial secara
langsung,” ungkap Siti Andini.Perjalanan
untuk sampai di Kampung Baduy dibutuhkan waktu 9 jam dari
Serang dan
11 jam dari Jakarta. Alurnya bisa melewati
Rangkasbitung-Ciboleger.Meski
berada di pedalaman Banten, banyak orang yang ingin
mengunjungi kampung Baduy.
Pengunjungnya pun tidak hanya masyarakat Banten, tapi juga
dari luar Banten.
Karena mereka mengaku Baduy merupakan desa yang unik dan
masih alami. Selain
itu masyarakat Baduy Dalam hidup sederhana, saling gotong
royong dan sangat
ramah.Semua
pengunjung yang ingin menginap di rumah Baduy harus mematuhi
adat istiadat. Di
antaranya tidak membawa elektronik kalau ke Baduy Dalam
kecuali senter. Karena di Baduy Dalam tidak ada
listrik.
Mereka memakai lampu damar yang terbuat dari minyak sayur.
Boleh berfoto-foto
tapi hanya di Baduy Luar. Selain
itu tidak boleh merusak hutan, melanggar norma, memakai
sabun, shampo dan odol.
Karena mengandung zat kimia sehingga bisa tercemar dan akan
terminum oleh
penduduk yang berada dibawah gunung. Penduduk
Baduy berjumlah sekitar 11.000 orang. Rumah di suku Baduy
adalah rumah
panggung. Baduy Dalam tidak memakai paku, mereka menggunakan
pasak sebagai
penyanggah. Pasak adalah bambu atau kayu yang sudah
dilubangi.Suku
Baduy terbagi menjadi dua. Ada suku Baduy dalam dan ada suku
Baduy luar. Bedanya
suku Baduy dalam belum tercampur dengan adat luar sedangkan
suku Baduy luar
sudah mengenal budaya luar. Diantara mereka sudah mengenal
alat elektronik.
Perbedaan lainnya. Pakaian Baduy dalam berwarna putih, rok
hitam dan memakai
ikat kepala yang biasa disebut telekung. Juga, Baduy dalam
tidak memakai
kancing. Sedangkan Pakaian Baduy luar berwarna hitam, celana
hitam dan ikat
kepala diberi nama romal. Kenapa hitam putih, karena ciri
khas. Adanya hitam
putih mereka meyakini di dunia ini ada gelap dan ada terang.
Mereka mendapatkan
baju itu dengan cara ditenun. Nama
Baduy sendiri diambil dari sebuah Gunung yang bernama Gunung
Baduy. Baduy dalam
mempunyai 3 kampung. Kampung paling tua adalah kampung
Cikeusik, kemudian
kampung Cikertawana dan kampung Cibeo. Setiap Kampung di
kepalai oleh satu Pu’un
(Kepala suku). Kreativitas
Masyarakat Baduy Dalam
Terlepas dari kegiatan
mereka sebagai pedagang dan petani. Baduy dalam juga
mempunyai kreativitas yang
bisa menjual. Diantaranya gelang, anyaman dari bambu,
perabotan masak dari
bambu, tas anyaman dari kulit pohon. Hasil anyaman itu
mereka jual kepada
masyarakat.
Tidak hanya itu,
masyarakat Baduy pun menjual madu yang diambil dari hutan.
Cara mengambilnya
diasapkan, agar Lebah keluar. Sehingga mempermudah kita
mengambil madunya.
“Hasil madunya nanti akan
dijual ke luar Baduy atau ke masyarakat
kota. Jika ke kota kita juga tidak diperbolehkan memakai
kendaraan dan alas
kaki, karena itu pantangan juga yang harus dipatuhi,”
tutur Danar, salah satu
masyarakat Baduy Dalam.
Bahasa yang mereka
pakai sehari-hari adalah sunda . Tapi banyak dari orang
Baduy yang sudah
mengerti bahasa Indonesia. Jadi pengunjung tidak perlu
khawatir untuk
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Masyarakat Baduy
tidak tertutup bagi
siapa saja yang ingin nyaba atau
silaturahmi ke suku Baduy. Hanya saja pada bulan Kawalu tiga
bulan
berturut-turut (masa panen) Baduy dalam ditutup untuk orang
luar.
Masyarakat Baduy yang
sampai saat ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan
merupakan masyarakat
terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia
luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis
memasukan Baduy ke
dalam wilayah kekuasannya pun tidak lepas dari kesadaran
mereka. Setiap
setahun sekali, masyarakat Baduy mengadakan seba Baduy yang
berarti silaturahmi
kepada pemerintah Banten dengan membawa hasil bumi seperti
padi, sayuran, dan buah-buahan.
Sahyudin dan Meithallitha Dewi
Jurusan
Jurnalistik,
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
Wangsa Jaya Banten,
R3 nyeba kabaduy
BalasHapus